Sepuluh Tahun Mengabdi Digaji Rendah Di Pecat Tanpa Pesangon Itulah Nasib Syahrial

banner 728x90

Kabarreskrim.net // Padang

Di tengah dominasi industri semen yang menjadi tulang punggung ekonomi Sumatera Barat, terselip kisah getir dari seorang pekerja pengamanan bernama Syahrial (55). Selama satu dekade, ia bekerja di PT Pasoka Sumber Karya, anak usaha PT Semen Padang, tanpa kontrak tertulis dan dengan gaji tetap berada di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Ironisnya, pada akhir 2025, ia diberhentikan tanpa pesangon.

Bacaan Lainnya

Kasus Syahrial kini menjadi sorotan publik karena mencerminkan persoalan struktural dalam praktik ketenagakerjaan sektor industri pendukung BUMN di daerah. Bekerja Tanpa Kontrak, Status kerja menggantung sejak diterima pada 2016, Syahrial mengaku tidak pernah menandatangani perjanjian kerja, baik sebagai pegawai kontrak (PKWT) maupun pegawai tetap (PKWTT).

“Saya hanya menerima seragam dan jadwal kerja. Tidak ada kontrak apa pun,” ujarnya kepada KABARESKRIM NET.

Sumber internal perusahaan yang diwawancarai terpisah menyebutkan bahwa praktik serupa juga dialami sejumlah pekerja lain, “Ini bukan kasus tunggal. Banyak yang bekerja tanpa kontrak untuk waktu lama,” ungkapnya.

Gaji Stagnan dan Lebih Rendah dari UMR
Selama 10 tahun, Syahrial hanya menerima Rp 2,2 juta per bulan, angka yang konsisten berada di bawah UMR Kota Padang yang sejak 2016 bergerak dari Rp 2,1 juta hingga lebih dari Rp 2,8 juta pada 2025.

Pakar ketenagakerjaan dari Universitas Andalas, Dr. Y., menilai hal tersebut melanggar ketentuan upah minimum yang bersifat wajib dan tidak dapat dinegosiasi ke bawah.

“Perusahaan wajib menyesuaikan upah minimum setiap tahun. Ketidakpatuhan bertahun-tahun menunjukkan masalah struktural,” ujarnya.

BPJS Terlambat Tujuh Tahun
Syahrial baru didaftarkan sebagai peserta BPJS pada 2023, tujuh tahun setelah ia mulai bekerja. Ini berarti selama periode tersebut ia bekerja tanpa perlindungan kesehatan dan kecelakaan kerja.

Padahal, UU No. 24/2011 tentang BPJS mengatur bahwa pendaftaran harus dilakukan paling lambat 30 hari sejak pekerja mulai bekerja.

PHK Sepihak dan Kontroversi Status Buruh Harian Lepas
Pada akhir tahun 2025, Syahrial diberitahu bahwa ia tidak lagi dibutuhkan. Tidak ada surat peringatan, tidak ada evaluasi, dan tidak ada dialog bipartit.

Pihak perusahaan menyebutkan bahwa Syahrial adalah “buruh harian lepas”, sehingga tidak berhak atas pesangon.

Namun temuan di lapangan menunjukkan sebaliknya:

Ia bekerja setiap hari dalam sistem jaga Malam mobil mobil Perusahaan
Menerima gaji bulanan
Mendapat instruksi langsung dari atasan
Tugasnya permanen dan rutin
Dosen hukum ketenagakerjaan UNP, F.R., menilai status tersebut tidak sesuai ketentuan.

“Pekerja yang bekerja terus menerus selama bertahun-tahun, apalagi 10 tahun, secara hukum telah memenuhi unsur pekerja tetap. Hak pesangonnya tidak bisa dihapus begitu saja.”

Beban Keluarga: Ayah Tunggal dengan Tiga Anak Yatim
Kondisi semakin berat bagi Syahrial karena ia kini menjadi tumpuan hidup tiga anak yatim. Sejak pemecatan, keluarganya bergantung pada pinjaman kerabat dan bantuan warga sekitar.

“Anak saya yang SMA ingin berhenti sekolah karena menunggak SPP. Saya tak sanggup melihat itu,” kata Syahrial.

Para tetangga mengonfirmasi bahwa keluarga tersebut hidup dalam kesulitan sejak PHK terjadi.

Desakan Pemeriksaan dan Audit Ketenagakerjaan
Kasus Syahrial memantik reaksi publik. Aktivis buruh dan pemerhati HAM mendesak Dinas Tenaga Kerja Sumatera Barat untuk melakukan investigasi menyeluruh terhadap PT Pasoka Sumber Karya.

Seruan lain mencakup:

Audit sistem hubungan kerja
Verifikasi pelanggaran upah minimum
Pemeriksaan kepatuhan BPJS
Klarifikasi status pekerja jangka panjang
Potret Lebih Luas: Fenomena yang Muncul di Banyak Daerah
Pengamat ketenagakerjaan dari LIPI, E.H., menyatakan bahwa kasus seperti ini bukan hal baru. Banyak perusahaan—termasuk yang menjadi pemasok BUMN besar—menggunakan skema kerja tanpa kontrak untuk menghindari kewajiban pesangon dan perlindungan sosial.

“Ini masalah nasional. Regulasi sudah ada, tetapi pengawasan dan penegakan hukum masih lemah,” katanya.

Harapan Terakhir seorang Pekerja
Meski terluka secara moral dan ekonomi, Syahrial tetap berharap pemerintah turun tangan.

“Saya hanya minta keadilan. Sepuluh tahun saya bekerja, bukan satu dua hari. Anak-anak saya butuh hidup,” ujarnya.

Kisah Syahrial kini menjadi cermin suram dunia ketenagakerjaan Indonesia: industri besar berdiri megah, tetapi di baliknya ada pekerja yang bekerja dalam bayang-bayang, tanpa kontrak, tanpa perlindungan, dan terkadang tanpa masa depan. (Edg)

Pos terkait

banner 728x90