Pengabdian Yang Dianaktirikan 34 Guru Honorer Solok Selatan Terjebak Ketidakpastian

banner 728x90

Kabarreskrim.net // Solok Selatan

Lulus Seleksi PPPK, Namun SK Tak Kunjung Terbit—Ketika Janji Negara Tersendat di Daerah.
Di tengah gencarnya komitmen negara menyelesaikan persoalan tenaga honorer secara adil dan bermartabat, 34 guru honorer di Kabupaten Solok Selatan justru menghadapi kenyataan pahit. Mereka telah lulus seluruh tahapan seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), dinyatakan memenuhi syarat administrasi, bahkan sebagian telah mengantongi sertifikat pendidik sejak 2021. Namun hingga kini, Surat Keputusan (SK) pengangkatan mereka tak kunjung diterbitkan.

Bacaan Lainnya

Situasi ini menempatkan para guru tersebut dalam ruang abu-abu kebijakan: secara nasional diakui lulus, tetapi secara daerah belum diberi kepastian status. Negara seakan hadir di pusat, namun absen di ruang kelas tempat mereka mengabdi.

“Kami ini THK-2, sudah mengabdi lebih kurang 21 tahun. Sertifikat pendidik sudah kami dapatkan, seleksi sudah kami lewati. Tapi sampai hari ini, kami seperti tidak dianggap,” ungkap salah seorang guru honorer kepada awak media. Dengan nada lirih ia menambahkan, “Masa depan kami terasa makin curam.”

Pengabdian Panjang yang Tak Berujung Kepastian
Ke-34 guru honorer ini bukanlah tenaga pendidik baru. Sebagian besar telah mengabdi lebih dari satu hingga dua dekade, mengajar di sekolah-sekolah pelosok dengan fasilitas terbatas dan honor yang jauh dari kata layak. Dalam kondisi serba kekurangan, mereka tetap menjalankan peran sebagai pendidik—menjadi penopang utama keberlangsungan pendidikan dasar di daerah.

Namun pengabdian panjang tersebut kini terasa seolah terhenti di meja birokrasi. Tanpa SK PPPK, mereka tidak memperoleh kepastian status, hak kepegawaian, maupun jaminan masa depan yang layak, meski secara aturan nasional telah dinyatakan lulus.

Lulus Bersama, Namun Diperlakukan Berbeda
Keadaan ini kian menimbulkan tanda tanya ketika diketahui bahwa pada waktu dan mekanisme seleksi yang sama, sejumlah guru honorer lain di Kabupaten Solok Selatan telah menerima SK PPPK dan mulai bekerja dengan status resmi.

Padahal, menurut para guru, sistem seleksi, regulasi, dan prosedur yang mereka ikuti sepenuhnya identik. Perbedaan perlakuan inilah yang memunculkan kecurigaan publik terhadap adanya faktor di luar aspek administratif.

Isu yang berkembang di kalangan guru menyebutkan adanya dugaan keterkaitan dengan dinamika politik lokal pasca kontestasi kepala daerah. Sebagian dari guru yang SK-nya tertahan disebut-sebut memiliki relasi politik yang tidak sejalan dengan kekuasaan saat ini. Meski isu tersebut belum pernah dikonfirmasi secara resmi, ketiadaan penjelasan terbuka dari Pemerintah Kabupaten Solok Selatan justru memperbesar ruang spekulasi.

Janji Berulang, Kepastian Tak Pernah Datang
Upaya mencari kejelasan telah dilakukan berkali-kali. Para guru mendatangi kantor bupati, menyampaikan aspirasi melalui DPRD, hingga mengikuti berbagai audiensi resmi. Namun hasilnya nyaris seragam: janji normatif tanpa tenggat waktu yang jelas.

“Setiap kali kami menghadap, jawabannya selalu sama: sabar, sedang diproses, menunggu mekanisme,” kata seorang guru. “Kami seperti bola—dipantulkan dari satu janji ke janji lainnya, tanpa pernah benar-benar sampai pada keputusan.”

Di ruang kelas, mereka tetap mengajar dengan tanggung jawab penuh. Namun di luar kelas, mereka harus menghadapi ketidakpastian ekonomi, tekanan psikologis, dan rasa dianaktirikan oleh sistem yang seharusnya melindungi mereka.

Kebijakan Nasional yang Tersendat di Daerah
Kasus ini mencerminkan retaknya implementasi kebijakan nasional di tingkat daerah. Presiden Republik Indonesia secara terbuka telah berulang kali menegaskan komitmen negara untuk menyelesaikan persoalan honorer secara adil, transparan, dan berkeadilan.

Namun di Solok Selatan, komitmen tersebut seolah terhenti di level birokrasi lokal. Hingga berita ini diterbitkan, Pemerintah Kabupaten Solok Selatan belum memberikan penjelasan resmi dan terbuka mengenai alasan penahanan SK 34 guru honorer tersebut.

Jika tidak ada persoalan administrasi, mengapa SK belum diterbitkan?
Jika terdapat kekurangan, mengapa tidak disampaikan secara transparan?
Jika semua syarat telah dipenuhi, atas dasar apa hak para guru ini digantung tanpa kepastian hukum?

Pertanyaan-pertanyaan ini masih menggantung di ruang publik.

Seruan Moral kepada Pemerintah Pusat
Bagi 34 guru honorer ini, SK PPPK bukan sekadar dokumen administratif. Ia adalah pengakuan negara atas pengabdian panjang, kerja sunyi, dan dedikasi mereka di ruang-ruang kelas daerah. Ketika SK tersebut ditahan tanpa kejelasan, yang tercederai bukan hanya individu guru, melainkan rasa keadilan publik.

Kasus ini patut menjadi perhatian serius pemerintah pusat, termasuk Kementerian PAN-RB, Kementerian Pendidikan, serta Presiden Republik Indonesia. Sebab jika ketidakpastian ini dibiarkan, pesan yang sampai ke para guru honorer di seluruh pelosok negeri sangat jelas:
pengabdian panjang belum tentu berujung penghargaan, ketika birokrasi dan kepentingan lain ikut menentukan nasib.

Para guru ini tidak menuntut keistimewaan. Mereka hanya meminta hak yang telah diperoleh melalui proses yang sah, serta kepastian yang dijanjikan oleh negara.

(Endang S)

Pos terkait

banner 728x90