Kabarreskrim.net // Lampung barat
Polemik proyek revitalisasi SMKN 1 Kebun Tebu terus bergulir dan semakin mengundang pertanyaan publik.
Setelah sebelumnya disorot terkait upah pekerja di bawah standar serta minimnya penerapan alat pelindung diri (APD), kini sorotan mengarah pada ketidaksesuaian antara nilai anggaran besar dan realisasi fisik bangunan di lapangan.
Dengan nilai proyek mendekati Rp 1 miliar, hasil pekerjaan yang tampak di lokasi justru dinilai biasa saja dan tidak mencerminkan proyek revitalisasi berskala besar.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan serius mengenai efektivitas dan akurasi penggunaan anggaran negara.
Sorotan paling krusial tertuju pada satu unit gedung yang dalam dokumen Rencana Anggaran Biaya (RAB) secara jelas tercantum sebagai pekerjaan satu gedung bangun total (pembangunan dari nol).
Namun berdasarkan pengamatan di lapangan, gedung tersebut tidak menunjukkan ciri pembangunan baru, melainkan hanya tampak mengalami rehabilitasi ringan, dengan struktur lama masih dipertahankan.
Perbedaan mencolok antara dokumen perencanaan dan kondisi fisik ini menimbulkan dugaan kuat adanya ketidaksesuaian volume dan spesifikasi pekerjaan.
Dalam proyek yang dibiayai APBN/APBD, perubahan dari bangun total menjadi rehab ringan tidak dapat dilakukan secara sepihak, melainkan wajib disertai dokumen perubahan resmi seperti addendum kontrak dan justifikasi teknis.
Hingga kini, belum terlihat adanya penjelasan terbuka kepada publik terkait dasar perubahan pekerjaan tersebut.
Situasi ini semakin memperkuat persepsi publik bahwa pengelolaan proyek revitalisasi SMKN 1 Kebun Tebu memiliki persoalan mendasar dalam transparansi dan pengawasan.
Di sisi lain, rendahnya upah tenaga kerja serta lemahnya penerapan standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3) turut menambah daftar persoalan.
Kombinasi antara nilai proyek besar, hasil fisik yang minim, serta perbedaan antara RAB dan realisasi dinilai berpotensi menjadi temuan serius dalam audit teknis maupun keuangan.
Kurangnya keterbukaan informasi juga membuat peran pihak sekolah menjadi perhatian publik.
Meski belum dapat disimpulkan, berkembang dugaan adanya potensi keuntungan non-prosedural akibat perbedaan perencanaan dan pelaksanaan proyek. Dugaan tersebut tentu memerlukan pembuktian melalui mekanisme resmi dan audit yang sah.
Atas dasar berbagai indikasi tersebut, publik mendesak Inspektorat Daerah, Dinas Pendidikan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta Aparat Penegak Hukum (APH) untuk segera melakukan audit menyeluruh, dengan fokus pada:
kesesuaian RAB dan realisasi fisik bangunan,
status satu gedung yang direncanakan bangun total namun direalisasikan hanya rehab ringan,
volume dan mutu pekerjaan,
penerapan K3,
serta struktur biaya tenaga kerja.
Media menegaskan, rilis ini merupakan bentuk kontrol sosial dan kepentingan publik, bukan penghakiman. Klarifikasi berbasis dokumen serta audit terbuka menjadi satu-satunya cara untuk menjawab seluruh pertanyaan masyarakat secara objektif.
Sebab proyek pendidikan dengan anggaran hampir satu miliar rupiah tidak hanya menyangkut bangunan fisik, tetapi juga menyangkut akuntabilitas keuangan negara, kepercayaan publik, dan masa depan dunia pendidikan.(TIM)









