Kabarreskrim.net // Sumbar
Gelombang kekecewaan pendukung Kabau Sirah kini berubah menjadi badai. Kekalahan demi kekalahan bukan lagi dianggap “fase buruk”, melainkan tanda keras bahwa ada yang tidak beres di tubuh tim kebanggaan Sumatera Barat ini. Suporter kini tidak hanya kecewa, mereka marah. Dan amarah itu bukan tanpa alasan.
Stadion yang dulu jadi ladang semangat kini terasa seperti ruang menunggu pasrah. Tim seolah bermain tanpa arah, tanpa identitas, dan tanpa kemauan untuk mematahkan kutukan keterpurukan.
Suporter: “Ini Bukan Kabau Sirah, Ini Bayangannya.”
Kata-kata pedas bermunculan dari tribun, grup WhatsApp, hingga lini komentar siaran langsung. Banyak yang menilai permainan Kabau Sirah sekarang seperti kapal yang kehilangan kompas.
“Kalau begini terus, apa yang mau dibanggakan? Kami tidak melihat nyawa tim ini. Ini sudah krisis, bukan sekadar kurang beruntung,” kata salah seorang pentolan suporter.
Dorongan agar manajemen bangun dari tidur panjang terdengar dari segala penjuru.
Tuntutan Publik: Manajer Harus Berani, atau Silakan Menepi
Pendukung tidak lagi berbicara pelan. Berikut tuntutan yang kini menggema dengan suara yang nyaris tak bisa diabaikan:
Carikan Pelatih yang Benar, Bukan Sekadar Nama untuk Mengisi Bangku Kabau Sirah membutuhkan pelatih yang bisa mengguncang ruang ganti, bukan yang hanya hadir memberi instruksi kosong. Publik menolak konsep coba-coba. Mereka ingin pemimpin yang bisa memberi identitas permainan dan membentuk karakter petarung.
Evaluasi Menyeluruh di Internal Banyak pemain tampak berjalan, bukan bertarung. Publik bertanya: apakah ada masalah kedisiplinan? Motivasi? Manajemen dituntut untuk tidak lagi bersikap lunak. Yang tidak perform harus dievaluasi. Titik.
Manajemen Jangan Diam. Bersuara dan Bertanggung Jawab. Diam adalah bentuk pengabaian. Di saat publik mempertahankan loyalitas, manajemen justru terlihat seperti sedang bersembunyi. Pendukung menuntut tanggapan resmi, rencana nyata, dan tindakan cepat.
Jika Tidak Berubah, Kepercayaan Publik Akan Runtuh
Kepercayaan suporter adalah harta paling mahal sebuah klub. Jika itu hilang, tak ada strategi pemasaran atau sponsor yang bisa menambal. Kabau Sirah harus segera menunjukkan perubahan, atau bersiap menanggung gelombang boikot yang mulai dibicarakan sebagian pendukung.
Masyarakat Sumbar tidak meminta hal mustahil. Mereka hanya meminta Kabau Sirah kembali menjadi Kabau Sirah. Tim yang berdiri tegap, bukan tersandung tanpa perlawanan.
Waktu Sudah Habis. Saatnya Bertindak.
Musim belum berakhir, tapi kesabaran publik hampir habis. Suporter masih menunggu secercah perubahan, secercah keberanian, secercah kepemimpinan. Jika manajemen berani merombak, merekrut pelatih yang tepat, dan mengembalikan karakter bertarung, Kabau Sirah masih bisa bangkit dari jurang.
Jika tidak, sejarah akan mengingat periode ini sebagai masa paling kelam dalam perjalanan tim yang dulu begitu membanggakan ranah Minang. (Edg)









