Butuh Sikap Tegas Pemkab RPH Banjarsari Masih Menanti Legalitas

banner 728x90

Kabarreskrim.net // Bojonegoro

Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Banjarsari di Desa Banjarsari, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Bojonegoro, kini bagai bangunan tanpa arah. Meski telah menelan anggaran hingga Rp8 miliar, fasilitas tersebut tak kunjung bisa dimanfaatkan karena terbelit persoalan administratif dan perizinan yang tak kunjung tuntas.

Bacaan Lainnya

Padahal, secara aturan, pembangunan gedung pemerintahan tidak bisa dilakukan asal berdiri saja. Ada sejumlah persyaratan administratif dan teknis yang wajib dipenuhi sejak tahap awal. Mulai dari kejelasan status hak atas tanah, izin pemanfaatan lahan, status kepemilikan bangunan, hingga Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang kini menggantikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Setelah konstruksi rampung, bangunan juga wajib mengantongi Sertifikat Laik Fungsi (SLF) dan Sertifikat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung (SBKBG).

Sayangnya, hal-hal mendasar itu terabaikan. Dinas Peternakan yang seharusnya memanfaatkan gedung tersebut kini hanya bisa gigit jari. Infrastruktur sudah berdiri, namun tak memiliki dasar legalitas untuk digunakan. Alih-alih beroperasi mendukung sektor peternakan dan kesejahteraan peternak lokal, RPH Banjarsari justru menjadi saksi bisu pemborosan APBD.

Ironisnya, proses perencanaan, pengadaan, hingga pelaksanaan konstruksi seolah dilakukan tanpa peta jalan yang jelas. Persoalan administratif yang seharusnya diurus paralel sejak tahap perencanaan, seperti PBG, SLF, hingga SBKBG, justru terbengkalai di belakang. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: di mana fungsi pengawasan dari instansi terkait? Mengapa tidak ada jaminan keterpaduan antar-dinas yang seharusnya saling mendukung, bukan saling melempar tanggung jawab?

Elfi, Sekretaris Dinas Peternakan Bojonegoro, mengakui bahwa pihaknya belum bisa memanfaatkan bangunan tersebut karena proses serah terima aset dari Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya belum selesai.

“Kendala kami karena memang belum ada serah terima aset dari Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya ke Dinas Peternakan. Proses perizinannya masih berjalan karena yang membangun itu Dinas PU Cipta Karya. Jadi kami baru bisa beroperasi kalau serah terimanya sudah selesai,” terang Elfi.

Penjelasan ini justru menegaskan lemahnya perencanaan lintas sektor. Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya fokus membangun fisik, tetapi administrasi legal tak disiapkan dengan matang. Hasilnya, bangunan hanya jadi beban tanpa manfaat.

Dengan kondisi mangkrak seperti ini, publik patut mendesak penjelasan rinci. Bagaimana bisa proyek dengan nilai fantastis dibiarkan mangkrak hanya karena kelalaian administratif? Bukankah seharusnya perencanaan matang dilakukan sejak sebelum peletakan batu pertama?

Jika dibiarkan, RPH Banjarsari berpotensi menjadi monumen kegagalan tata kelola pembangunan di Bojonegoro. Warga menanti sikap tegas Pemkab untuk segera menuntaskan legalisasi perizinan agar aset negara tak berubah menjadi bangunan mati tanpa manfaat.[Red/Team]

Pos terkait

banner 728x90