Kabarreskrim.net // Bojonegoro
Pembangunan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Banjarsari di Desa Banjarsari, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Bojonegoro, kini disorot tajam. Proyek yang seharusnya mendukung kebutuhan peternakan daerah itu justru terbengkalai, berubah menjadi bangunan mangkrak yang memalukan. Padahal, dana yang dikucurkan tidak main-main: lebih dari Rp 8 miliar uang rakyat dihabiskan untuk proyek yang belum jelas ujungnya.
RPH Banjarsari dibangun melalui Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Cipta Karya Kabupaten Bojonegoro, dengan pagu anggaran APBD 2022 sebesar Rp 8.802.014.422. Nilai HPS tercatat Rp 8.793.415.420, sementara nilai kontrak akhir yang disepakati dengan CV. Dyuy Jaya Sakti, kontraktor asal Sidoarjo, sebesar Rp 8.284.842.015,22.
Namun ironis, berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Perwakilan Jawa Timur, ditemukan fakta pahit: ada kekurangan volume pekerjaan senilai Rp 78.683.264,33 yang belum dilunasi. Temuan ini mengindikasikan potensi kerugian keuangan daerah karena pekerjaan tidak sesuai kontrak.
Lebih ironis lagi, hingga kini RPH Banjarsari belum bisa dimanfaatkan karena status administrasi perizinan tidak kunjung tuntas. Serah terima aset pun mandek. Bangunan berdiri, tetapi legalitas seperti Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) terbengkalai. Akibatnya, Dinas Peternakan yang seharusnya mengoperasikan gedung hanya bisa menunggu tanpa kepastian.
Publik pun mempertanyakan kinerja Dinas Cipta Karya Bojonegoro selaku penanggung jawab teknis. Jika pengawasan berjalan sejak tahap perencanaan, mengapa kekurangan volume bisa terjadi? Ke mana pengawas proyek saat fisik bangunan dilaksanakan? Dan yang lebih penting: bagaimana mekanisme pembayaran bisa cair jika volume belum 100% terpenuhi?
Di tengah isu anggaran yang selalu minim untuk kebutuhan dasar warga, proyek mangkrak semacam ini adalah tamparan. Uang rakyat Rp 8 miliar bukan angka kecil — setara membangun puluhan fasilitas desa yang lebih menyentuh kebutuhan langsung masyarakat.
Warga mendesak Inspektorat, DPRD, hingga Aparat Penegak Hukum memeriksa tuntas laporan BPK. CV. Dyuy Jaya Sakti pun tak bisa lepas tangan dan potensi pengembalian kerugian daerah harus ditagih sampai tuntas.
Jika mangkraknya RPH Banjarsari dibiarkan, ini akan menambah daftar panjang proyek mubazir di Bojonegoro yang hanya mencetak bangunan mati tanpa manfaat. Dan yang paling rugi, tak lain adalah rakyat. [Red/Team]